The Blog

Banda Aceh, isbiaceh.ac.id  – Forum Mahasiswa Aceh Dunia (FORMAD) mengajak seluruh pemangku kebijakan untuk melibatkan anak muda dalam segala agenda penjayaan seni dan budaya Aceh. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua FORMAD Najid Akhtiar saat mengapresiasi Kongres Peradaban Aceh II di Kota Jantho, (7/5/2024).

“Kongres Peradaban Aceh 2024 ini merupakan agenda yang sangat strategis untuk melestarikan adat budaya kita. Suatu kehormatan diperkenankan hadir dan bertatap muka dengan tokoh-tokoh Aceh yang memiliki concern besar terhadap peradaban Aceh. Melalui kongres yang luar biasa ini, kami harapkan agar anak muda dapat belajar banyak dari para tokoh yang kami idolakan ini.

” Menurut Najid, generasi muda selayaknya dilibatkan secara aktif untuk menjayakan seni dan budaya. “Dilibatkan sebagai panitia suatu kehormatan. Dilibatkan untuk tampil di atas panggung suatu kehormatan yang lebih menyenangkan lagi. Lebih dari itu, dilibatkan dalam mengambil kebijakan dan berbagi ide pemerkasaan nilai-nilai seni budaya, tentu saja itu akan menjadi ultra kehormatan bagi generasi muda. Dengan memberikan porsi keterlibatan yang cukup pada anak muda, akan tumbuh mekar rasa memiliki anak muda akan adat dan budaya.”

“Mate aneuk meupat jeurat, mate adat han pat ta mita. Mengapa mate aneuk yang dijadikan permisalan, bukan mate yah atau mate ma? Karena memang selayaknya anaklah yang mengambil peran aktif dalam menghidupkan adat budaya. Seakan-akan anak ini harus didelegasikan khusus untuk agenda ini. Kalaupun mati dalam tugas yang mulia ini, paling tidak makamnya jelas mana letaknya. Sementara kalau saja tugas ini gagal dijalankan, adat budaya akan hilang selamanya.

” Najid menyebutkan bahwa generasi muda Aceh saat ini seringkali merasa tidak dilibatkan secara aktif dalam upaya memajukan budaya. Bahkan seringkali anak muda disindir dan diperolok sebagai generasi yang tidak mengerti bahasa, adat, seni dan budaya sebagaimana yang diwariskan oleh indatu. Padahal Najid percaya bahwa minat anak muda sangat besar untuk turut serta, namun sering pupus oleh minimnya ruang untuk berkarya.

Menurutnya, mengekalkan seni budaya Aceh tidak terlepas dari menumbuhkan rasa cinta generasi muda terhadap keduanya. Sebagai budaya yang memiliki sejarah yang megah di masa lalu, dengan mewariskannya kepada anak muda, budaya ini akan megah terus di masa depan.

“Saya pernah hadir dalam pentas seni yang diselenggarakan di Kairo. Salah satunya adalah penampilan seni Afrika yang ditampilkan oleh seorang lelaki tua. Suasana sangat hikmat, namun satu kesan yang tertinggal usai penampilan, bahwa seni yang dibawa itu sudah senja. Wafat lelaki tua itu, ikut wafat juga seninya, begitu kurang lebih bahasanya. Dan selang beberapa penampilan, di atas pentas yang sama, sekelompok anak muda hadir menampilkan tarian seni negaranya. Apa kesan yang ditinggalkan? Bahwa seni tari itu akan abadi, masih panjang umurnya dan cerah masa depannya.”

“Seni tari yang dibawa tersebut tidak lain adalah Tari Rapai Geleng yang ditampilkan oleh Keluarga Mahasiswa Aceh di Mesir,” tukas alumni Sastra Arab Al-Azhar ini.

Najid juga menyebutkan bahwa anak-anak Aceh yang tersebar di seluruh dunia banyak mengambil peran dalam mengenalkan adat budaya Aceh ke dunia internasional. Sebut saja KMA Mesir di Mesir, IMAN di Jerman, Rangkang Nanggroe di United Kingdom, putra-putri Aceh ini di tengah kesibukan studi mereka, turut juga berkontribusi dalam menjayakan adat budaya.

“Maka memperkenalkan adat budaya Aceh di panggung dunia sangat sejalan dengan visi misi yang FORMAD bawa. Menuju seratus ribu pelajar Aceh di kampus mancanegara, berarti mengutus seratus ribu duta yang siap mengenalkan Aceh dengan segala budayanya di dunia internasional. Sambil menyelam minum air, mereka kenalkan Aceh dan di masa yang sama, dengan serius menuntut ilmu untuk pulang membangun negeri.”

“Harapannya, ketika mereka pulang ke Aceh, mereka tidak hanya dianggap anak kemarin sore yang belum berbuat apa-apa untuk Aceh. Mereka beserta generasi muda lainnya, ingin berbuat lebih, hanya perlu diberi ruang sahaja; tentu saja dengan bimbingan dan arahan para ayahanda serta kakanda. Jangan sampai generasi muda merasa bahwa urusan adat budaya ini hanya urusan para senior saja. Kalau dari awal tertanam paradigma seperti itu, tinggal menunggu waktu adat budaya kita tutup usia.”

Ketua Umum FORMAD Periode 2022-2024 ini mengapresiasi para tokoh senior yang menurutnya sangat peduli terhadap generasi muda ini. Kerendahan hati mereka untuk memberi ruang anak muda menurutnya akan menjadi kunci bangkitnya kembali peradaban Aceh.

“Kamoe yang muda semangat sagai yang kamoe na. Melalui kongres dan kesempatan sebanyaknya bagi kami belajar dari para senior inilah, jalan agar pergerakan ini tidak hanya bermodalkan semangat belaka.”

Dalam kesempatan tersebut, Najid Akhtiar juga mengusulkan empat hal; 1. Penggarapan buku berisikan pengetahuan lengkap tentang adat, seni serta budaya Aceh, 2. Pendidikan hikayat, hadih maja, dan sastra Aceh di tahap sekolah menengah, 3. Kamus bahasa-bahasa Aceh ke Bahasa Indonesia maupun Inggris, dan 4. Beasiswa sebanyaknya menuju seratus ribu pelajar Aceh internasional.

Kongres Peradaban Aceh II merupakan agenda peradaban yang diselenggarakan oleh Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Kota Jantho, Aceh Besar. Bertemakan “Pemerkasaan Seni dan Budaya Aceh di Era Kecerdasan Artifisial”, kongres ini dihadiri oleh Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haythar, Kadisbudpar Aceh Almuniza Kamal, Sekjend Diaspora Global Aceh (DGA) Dr. Surya Darma, Menteri PAN-RB RI 2011-2014 Dr. Azwar Abu Bakar, Wakil Ketua MPR RI 2009-2014 Ahmad Farhan Hamid, Rektor ISBI Aceh Prof. Wildan, Rektor UTU 2018-2022 Prof. Jasman J Ma’ruf, CEO Transcontinent Ismail Rasyid, Sastrawan Aceh Fikar W. Eda, dan tokoh-tokoh Aceh lainnya.